Kamis, 15 Maret 2012

BET PENTASKAN REZIM DI PARADE TEATER BALI 2011


INSTALASI ART, BERTEATER DENGAN SIMBOLIK

Sebuah panggung yang dikonstruksi oleh beberapa batang bambu khas Dusun Senja tampak tersusun apik di kalangan Angsoka, Taman Budaya Art Centre, Bali. Begitu pula para penonton tampak dengan rapi membentuk setengah lingkaran besar. Dari jarak jauh, seperti terpancar sebuah nuansa ritual magis yang digelar oleh seorang perempuan cantik nan anggun berbusana baju tidur warna putih di malam minggu itu. Sembari bersolek di depan wajan besar, sayup-sayup terdengar lirih irama dari mulutnya yang kian lama kian mengeras volumenya. “Anacarakadatasawalamagabangapajayanya” dilontarkan secara tidak teratur dan bergelombang tinggi rendah. Suara petasan yang terbuat dari bambu yang dimainkan oleh warga Dusun Senja dari arah yang berhadapan dengan panggung itu bergema berkali-kali. Akting meludah, telur dipecahkan, memasak di wajan besar, hingga akting melahirkan pun dipresentasikan oleh aktris Lisna Efendi.

Seorang aktor muda berkepala gundul yang berperan sebagai sang anak ( baca : bayi ) seolah-olah terseok-seok keluar. Seorang lelaki lain yang bertubuh kekar membawa pedang dan vokal yang cukup besar berdiri di belakang perempuan itu. Lelaki bertubuh kekar tengah menimang bayi sambil bersua dengan nada geram “maem maem maeeem!”. Kata itu diucapkannya berkali-kali, begitu pula seorang perempuan dengan akting yang sama seolah-olah memaksa si anak untuk makan. Tak ketinggalan, perempuan itu juga menyanyikan lagu kebangsaaan “Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya……” dengan nada sumbang. Dalam klimaks cerita, sang anak yang membawa tali dan menarik beban tiga kantong besar berisi jagung, pasir, dan air yang bergelayut di tiang bambu. Semua itu dibocorkan dengan pedang oleh lelaki yang bertubuh kekar. Semua bocor dan terurai ke ibu pertiwi. Lalu, warga dusun senja memasuki pangung dengan memukuli tiang bambu seolah-olah diruntuhkan.

Itulah sekilas kisah dari “Rezim”, sebuah pentas teater eksperimen yang dipersembahkan oleh Bali Eksperimental Teater (BET) dalam Parade Teater Bali 2011 pada 10 September 2011. Naskah dan pementasan "Rezim" yang ditulis dan disutradarai Nanoq da Kansas ini lebih banyak menggunakan bahasa simbol lewat gerak, suara, dan bunyi, dan akting eksperimen dengan konsep minikata. Konsep panggung bersifat instalatif. Hal inilah yang menggantikan bahasa verbal yang pada umumnya dipergunakan pada teater konvensional. Maka “Rezim” bukan drama realis yang memaparkan cerita secara lugas.

Menurut Nanoq, pada setiap kali pementasan “Rezim” konteksnya selalu berubah-ubah. Awal “Rezim” dipentaskan sekitar tahun 1998 konteksnya itu adalah silang sengkarut politik negeri ini di jaman Pak Soeharto. Namun pada pementasan “Rezim” kali ini, itu dominasi laki-laki dalam suatu “Rezim”. Bagi Nanoq, “Rezim” dapat diartikan dengan kekuasaaan secara kenegaraan, kepemimpinan secara kemasyarakatan atau bahkan dalam rumah tangga. Di tengah- tengah “Rezim” itulah peran perempuan harus tetap ada. Mau tidak mau perempuan tetap ditugaskan sebagai orang yang harus tetap menghibur di rumah, artinya membuat kebahagiaan dalam keluarga.

”Kebetulan aku visualisasikan dengan lagunya yang sumbang bahwa perempuan di tengah-tengah kekerasan tetap harus nyanyi. Nah di tengah-tengah silang sengkarutnya negeri ini, perempuan juga harus tetap masak. Di samping itu, perempuan juga harus melahirkan sebagai kodratnya. Ketika melahirkan itulah, kadang-kadang yang lahir itu “Rezim” atau kekuasaan apalah itu dalam suatu “Rezim”. Anak yang lahir sudah dicekoki dengan sesuatu yang tidak sepantasnya dia (anak yang lahir) terima. Alternatif lainnya misalnya, seorang pacar ingin begitu, pacarnya bilang oh, jangan, gak boleh, kamu jangan  begitu, harusnya begini. Atau bisa jadi orang tua ingin anaknya kerja di tempat itu, tapi anaknya ingin kerja di tempat ini. Itu juga bisa dikatakan sebuah “Rezim”,”paparnya lagi.

Soal instalasi. Nanoq memilih sumber daya alam yang ada di Dusun Senja. Seperti instalasi buah kelapa pompongan yang isi di dalamnya sudah raib dirampas tupai menggelayut serupa tirai. Itu dapat disimbolkan sebagai pemimpin yang banyak omong tapi tak ada isinya, kosong, dan perempuan tetap berada di bawah itu. Benda-benda yang sengaja dibocorkan seperti jagung, pasir, dan air itu merupakan visualisasi dari kebocoran sumber daya alam di negeri kita. Padahal Indonesia kaya sumber daya alam, namun rakyatnya masih banyak yang kelaparan. Akibat kebocoran air kemana-mana, petani kita susah mencari irigasi untuk sawahnya. Jadi, sumber daya bangsa kita bocor kemana-mana. Fenomena inilah juga yang rupanya direfleksikan  BET dalam pementasan “Rezim” kali ini.

“ Ya begitulah. Apa yang aku punya itulah yang aku pakai untuk pementasan. Aku sebenarnya ingin pentas menggunakan sepeda motor atau barang-barang elektronik yang canggih-canggih seperti zaman sekarang, tapi kan gak punya itu. Maka aku manfaatkan apa yang mudah-mudah dicari seperti kelapa pompongan itu misalnya,”ungkapnya.

Naskah “Rezim” sudah beberapa kali dipentaskan BET di Bali maupun luar Bali. Beberapa pemain terdahulu yang tercatat sebagai aktor “Rezim” di antaranya adalah AG Pramono, Ibed Surgana Yuga, Gembong Ismadi, Agus Beniq Anwar, dan aktris Dina Ningsih Septian. Emagz / Yuli Astari



Tidak ada komentar:

Posting Komentar