INSTALASI ART, BERTEATER DENGAN SIMBOLIK
Sebuah
panggung yang dikonstruksi oleh beberapa batang bambu khas Dusun Senja tampak
tersusun apik di kalangan Angsoka, Taman Budaya Art Centre, Bali.
Begitu pula para penonton tampak dengan rapi membentuk setengah lingkaran
besar. Dari jarak jauh, seperti terpancar sebuah nuansa ritual magis yang digelar
oleh seorang perempuan cantik nan anggun berbusana baju tidur warna putih di
malam minggu itu. Sembari bersolek di depan wajan besar, sayup-sayup terdengar
lirih irama dari mulutnya yang kian lama kian mengeras volumenya.
“Anacarakadatasawalamagabangapajayanya” dilontarkan secara tidak teratur dan
bergelombang tinggi rendah. Suara petasan yang terbuat dari bambu yang dimainkan oleh
warga Dusun Senja dari arah yang berhadapan dengan panggung itu bergema
berkali-kali. Akting meludah, telur
dipecahkan, memasak di wajan besar, hingga akting melahirkan pun
dipresentasikan oleh aktris Lisna Efendi.
Seorang
aktor muda berkepala gundul yang berperan sebagai sang anak ( baca : bayi )
seolah-olah terseok-seok keluar. Seorang lelaki lain yang bertubuh kekar membawa
pedang dan vokal yang cukup besar berdiri di belakang perempuan itu. Lelaki
bertubuh kekar tengah menimang bayi sambil bersua dengan nada geram “maem maem
maeeem!”. Kata itu diucapkannya berkali-kali, begitu pula seorang perempuan dengan
akting yang sama seolah-olah memaksa si anak untuk makan. Tak ketinggalan,
perempuan itu juga menyanyikan lagu kebangsaaan “Indonesia tanah air beta, pusaka
abadi nan jaya……” dengan nada sumbang. Dalam klimaks cerita, sang anak yang
membawa tali dan menarik beban tiga kantong besar berisi jagung, pasir, dan air
yang bergelayut di tiang bambu. Semua itu dibocorkan dengan pedang oleh lelaki yang
bertubuh kekar. Semua bocor dan terurai ke ibu pertiwi. Lalu, warga dusun senja
memasuki pangung dengan memukuli tiang bambu seolah-olah diruntuhkan.
Itulah sekilas kisah dari “Rezim”, sebuah pentas
teater eksperimen yang dipersembahkan oleh Bali Eksperimental Teater (BET)
dalam Parade Teater Bali 2011 pada 10 September 2011. Naskah dan pementasan "Rezim"
yang ditulis dan disutradarai Nanoq da Kansas ini lebih banyak menggunakan bahasa
simbol lewat gerak, suara, dan bunyi, dan akting eksperimen dengan konsep
minikata. Konsep panggung bersifat
instalatif. Hal inilah yang menggantikan bahasa verbal yang pada umumnya
dipergunakan pada teater konvensional. Maka “Rezim” bukan drama realis yang memaparkan cerita
secara lugas.
Menurut Nanoq, pada setiap kali pementasan “Rezim” konteksnya
selalu berubah-ubah. Awal “Rezim” dipentaskan sekitar tahun 1998 konteksnya itu
adalah silang sengkarut politik negeri ini di jaman Pak Soeharto. Namun pada
pementasan “Rezim” kali ini, itu dominasi laki-laki dalam suatu “Rezim”. Bagi Nanoq, “Rezim” dapat diartikan dengan kekuasaaan
secara kenegaraan, kepemimpinan secara kemasyarakatan atau bahkan dalam rumah
tangga. Di tengah- tengah “Rezim” itulah peran perempuan harus tetap ada. Mau
tidak mau perempuan tetap ditugaskan sebagai orang yang harus tetap menghibur
di rumah, artinya membuat kebahagiaan dalam keluarga.
”Kebetulan aku visualisasikan dengan lagunya yang
sumbang bahwa perempuan di tengah-tengah kekerasan tetap harus nyanyi. Nah di tengah-tengah silang sengkarutnya negeri ini,
perempuan juga harus tetap masak. Di samping itu, perempuan juga harus
melahirkan sebagai kodratnya. Ketika melahirkan itulah, kadang-kadang yang
lahir itu “Rezim” atau kekuasaan apalah itu dalam suatu “Rezim”. Anak yang lahir sudah
dicekoki dengan sesuatu yang tidak sepantasnya dia (anak yang lahir) terima. Alternatif lainnya misalnya, seorang pacar ingin begitu,
pacarnya bilang oh, jangan, gak boleh, kamu jangan begitu, harusnya begini. Atau bisa jadi orang
tua ingin anaknya kerja di tempat itu, tapi anaknya ingin kerja di tempat ini.
Itu juga bisa dikatakan sebuah “Rezim”,”paparnya lagi.
Soal
instalasi. Nanoq memilih sumber daya alam yang ada di Dusun Senja. Seperti
instalasi buah kelapa pompongan yang isi di dalamnya sudah raib dirampas tupai
menggelayut serupa tirai. Itu dapat disimbolkan sebagai pemimpin yang banyak
omong tapi tak ada isinya, kosong, dan perempuan tetap berada di bawah itu.
Benda-benda yang sengaja dibocorkan seperti jagung, pasir, dan air itu
merupakan visualisasi dari kebocoran sumber daya alam di negeri kita. Padahal Indonesia kaya
sumber daya alam, namun rakyatnya masih banyak yang kelaparan. Akibat kebocoran
air kemana-mana, petani kita susah mencari irigasi untuk sawahnya. Jadi, sumber
daya bangsa kita bocor kemana-mana. Fenomena inilah juga yang rupanya direfleksikan BET dalam pementasan “Rezim” kali ini.
“ Ya begitulah. Apa yang aku punya itulah yang aku
pakai untuk pementasan. Aku sebenarnya ingin pentas menggunakan sepeda motor
atau barang-barang elektronik yang canggih-canggih seperti zaman sekarang, tapi
kan gak punya itu. Maka aku manfaatkan apa yang mudah-mudah dicari seperti
kelapa pompongan itu misalnya,”ungkapnya.
Naskah
“Rezim” sudah beberapa kali dipentaskan BET di Bali maupun luar Bali. Beberapa pemain terdahulu yang tercatat sebagai
aktor “Rezim” di antaranya adalah AG Pramono, Ibed Surgana Yuga, Gembong
Ismadi, Agus Beniq Anwar, dan aktris Dina Ningsih Septian. Emagz / Yuli Astari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar