Anak-anak Teater
Solagracia sempat kebingungan sebelum pentas di Festival dan Lomba Seni Siswa
Nasional (FLS2N) di Makasar. Pasalnya, mereka menemukan sedikit hambatan. Bekal
dari Negara dan Denpasar, Solagracia tanpa panggung.
Tetapi setiba
di Makasar, panggung sudah disediakan panitua. Lebih membuat kepala mereka
nyaris pecah karena panitia menyediakan
waktu 25 menit untuk pemanggungan. Sementara duta Bali ini dalam gladi bersih
menghabiskan waktu 15 menit. Jadi ada waktu 10 menit tersisa.
Solagracia kian
kalang kabut, sebab panitia mengharuskan peserta tidak boleh meninggalkan
sampah, apalagi mengotori lantai panggung. Sementara anak-anak SMAN 1 Negara
ini di dalam aksi panggungnya mengggunakan menggunakan media air. Beruntung
lahir ide menggunakan terpal. Persoalan belumlah usai, sebab mereka harus
bersusah payah ke kota mendapatkan terpal. Namun, perjuangan dan tantangan yang
dihadapi membuat Solagracia pantang menyerah dan siap puputan di atas pentas.
Berkat terpal mukjizat, Solagracia pulang membawa medali emas.
Guru Bahasa
Indonesia yang juga wakasek SMAN 1 Negara, I Wayan Sudirtha, S.Pd mengatakan
bahwa prestasi yang diraih Teater Solagracia ini berkat mukjizat.
Teater
Solagracia ternyata mampu bertengger pada zona tiga terbaik nasional bersama
teater sekolah besutan Jawa Timur dan Jawa Barat dalam Festival dan Lomba Seni
Siswa Nasional (FLS2N) yang digelar di Makassar pada 19-25 Juni 2011 lalu dan
berhak atas medali emas.. Pada babak penyisihan Selasa, 21 Juni lalu, Solagracia
membawakan naskah “Ringsek” karya Nanoq da Kansas dan berhasil masuk nominasi
10 besar dari 33 grup teater kategori SMA/Sederajat setanah air yang menjadi
peserta. Atas performance pemain I Putu Andreas Alvan, Karendha Yucha, dan Ni
Made Wiwik Dwijayanti sebagai duta Provinsi Bali yang membawakan naskah “MIN” karya Nanoq Da Kansas
pada babak final, Solagracia berhasil membawa pulang sejumlah penghargaan
berupa uang tunai 7,5 juta (per grup teater), piagam juara, piagam peserta,
serta beasiswa selama setahun.
Sebelum menuju
Makassar,
Sudirtha
mengaku kuwalahan sehari menjelang lomba. ”Setiba kami di Makassar, panggung
pementasaan yang tertutup kain hitam sudah tersedia. Sedangkan konsep
pementasan kami pada waktu latihan di Negara dan Denpasar sudah matang tanpa
panggung. Kalau saja saya tidak berani protes panggung malam itu, mungkin
Solagracia tidak bisa main. Apalagi begitu tekhnical metting, kepala saya
serasa mau pecah. Sebab, perhitungan waktu cuma dikasih 25 menit. Sementara
durasi waktu pementasan Solagracia 15 menit, jadi masih ada sisa 10 menit untuk
totalitas persiapan awal pementasan dan pembersihan properti di akhir
pementasan. Dalam pementasan tidak diperkenankan ada kotoran sedikit pun,
sedangkan kami pentas dengan media air. Uuh...ditambah memikirkan itu lagi.
Untungnya saya punya ide. Kemudian langsung ke kota cari terpal pukul sembilan
malam. Parahnya, saya tidak tahu kota di sana, dimana mau cari terpal itu saya
tidak tahu. Kalau tanpa terpal, waktu lima menit untuk ngelap air itu pasti
kurang, dan bisa saja kami didiskualifikasi karena lantainya masih basah usai
pentas. Makanya, pemakaian air kami kurangi. Andre juga saya suruh keramas
dahulu sebelum dikeramasi di panggung. Sehingga saat keramas di panggung tak
perlu banyak air. Saya kira kalau tanpa didampingi dan mencetuskan ide-ide saat
keadaan genting seperti itu, saya yakin anak-anak pasti kelabakan sendirian dan
tidak bisa memecahkan masalah panggung dan sebagainya tadi,”curhatnya.
Naskah “Ringsek” aku buat tahun 1995
saat galak-galaknya orde baru. Aku pentaskan di Lombok, Bali, dan Jawa. “Min”
aku buat 1993 dan aku pentaskan di
halaman rumah-rumah penduduk. Banyak orang yang heran kenapa aku tidak
ditangkap aparat saat itu karena naskah itu memprotes pemerintah dan politik
hehe.. Soal seting, Cok Savitri dan Moch Satrio Welang sama sekali tidak
merubahnya. Aku beri mereka konsep matang, lalu mereka cuma menggarap ekspresi
dan dramaturg anak-anak. Semacam melakukan finishing,”singkat Nanoq saat
dikonfirmasi secara terpisah beberapa waktu lalu.
Nanoq juga
mengatakan bahwa untuk kasus-kasus pementasan naskahnya, agak rumit
mengatakannya absurd. Sebab, ia sendiri berpijak dari konsepsi kesenian tradisi
Bali, yakni topeng pajegan, dimana satu orang pemain bisa memerankan tiga atau
empat tokoh. “Makanya aku mengatakan orang-orang yang tidak terima saat
Solagracia lolos seleksi di provinsi itu adalah orang-orang yang belum belajar
apa-apa soal teater,”tandasnya.
Meski Teater Solagrasia
disokong oleh beberapa seniman pertunjukan papan atas, namun nama Teater Solagracia
tinggallah nama, jika tanpa sudi dibarengi dengan keseriusan para pemainnya. Satu-satunya
pemain lelaki yang bernama I Putu Andreas Alvan kelas XI IPA sebagai calon DPR
pada “Min” dan “Ringsek” jadi lelaki dengan penokohan yang parno. Sedangkan Karendha
Yucha siswi kelas XII IPA 1 yang merupakan pencetus nama Teater Solagracia berperan
sebagai tukang pos dalam pementasan “Min” dan suster di “Ringsek”. Sedangkan,
Wiwik Dwijayanti kelas XI IPS 2 berkomentar bahwa mereka belum paham betul soal
karakter penokohan antara yang tertulis pada naskah dengan saat diperankan di
atas panggung.”Beda banget. Seperti Karendha Yucha misalnya, dalam naskah
“Ringsek” ia tertulis sebagai “seseorang” dan “wanita” dalam naskah “Min”.
Tetapi ketika pentas, dia seolah-olah berperan sebagai tukang pos dan suster.
Jadi yang tahu soal itu cuma Om Nanoq da Kansas., ,”jelas pemeran istri seorang
calon pejabat daerah pada “Min” dan
dokter pada “Ringsek”.
Itulah
sekelumit kisah perjuangan Teater Solagracia SMAN 1 Negara. Selamat atas
kesuksesannya hingga tercatat dan dapat tempat dalam dunia teater sekolah anak
negeri. Semoga tidak puas sampai di sini saja dan selalu bernafas dalam irama jagat
seni teater. Emagz / Yuli Astari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar